infopali.co.id Liverpool, sang juara Liga Primer Inggris, tengah berada di persimpangan jalan. Setelah sukses mendatangkan Florian Wirtz dan melakukan perombakan lini tengah di bawah arahan Jurgen Klopp dan Arne Slot, ancaman baru muncul dari sisi pemain muda. Layaknya kapal yang kehilangan jangkar, potensi kepergian tiga pemain muda bisa membuat The Reds oleng.
Curtis Jones, bintang muda yang bersinar di Piala Eropa U-21, memang sudah menjadi pemain inti. Namun, nasib Harvey Elliott, Jarell Quansah, dan Tyler Morton tampaknya berbeda. Ketiganya kurang mendapat kesempatan bermain dan menjadi incaran klub lain. Elliott menolak tawaran Nottingham Forest, sementara Quansah dilirik Bayer Leverkusen, dan Morton juga diburu sejumlah tim.

Kehilangan trio ini bukan sekadar kehilangan pemain, melainkan potensi hilangnya "DNA" Liverpool. Dengan kepergian Trent Alexander-Arnold, hanya tersisa Curtis Jones dan Joe Gomez sebagai pemain senior Inggris. Masa depan Gomez pun masih abu-abu. Ini layaknya melodi yang kehilangan notanya, identitas lokal Liverpool terancam memudar. Era Robbie Fowler, Jamie Carragher, Steven Gerrard, hingga Alexander-Arnold seperti akan menjadi kenangan yang semakin jauh.
Arne Slot memang pernah menurunkan tim tanpa pemain Inggris, tetapi keberadaan pemain lokal tetap krusial, baik dari segi regulasi maupun ikatan emosional dengan fans. Berbeda dengan Arsenal, Manchester City, Chelsea, dan Newcastle yang memiliki lebih banyak pemain Inggris di skuad utama. Liverpool, meski dikenal sebagai klub kosmopolitan, harus menyeimbangkan keberagaman dengan kebutuhan pemain lokal.
Kedatangan Jeremie Frimpong merupakan langkah cerdas, namun bukan solusi jangka panjang. Liverpool perlu strategi yang lebih matang agar tidak terjebak dalam situasi yang bisa membahayakan kestabilan skuad dan pergerakan di pasar transfer. Jangan sampai ambisi mendatangkan bintang asing membutakan mata dari pentingnya menjaga akar klub.